Mei 09, 2013

menilik apa yang ada dalam nurani

Diposting oleh Sabita Normaliya di 06.00
Ini adalah tahun ketigaku menuntut ilmu di Brawijaya. Tidak terasa jika waktu berlalu seperti sedang dalam pertandingan marathon. Terasa cepat dan benar-benar luar biasa. Mencekam dan meningkatkan adrenalin. Kuliah itu tidak mudah. Aku harus mengatakannya secara jujur. Tidak mudah dengan banyak alasan yang mendasarinya. Tidak mudah karena biayanya yang tidak sedikit. Tidak mudah karena mata kuliahnya yang terbilang tidak mudah. Tidak mudah karena bahan kuliah yang tidak sedikit. Tidak mudah karena waktu yang kita habiskan juga tidak sebentar. Semua proses itu memang tidak mudah.

Aku menulis lagi pasti dengan alasan. Sebuah alasan yang aku pikir cukup logis mungkin bukan hanya untuk aku, tapi mungkin akan sama dengan beberapa orang di luar sana, mungkin bisa jadi kalian yang tak sengaja membaca tulisanku ini. 

Semalam aku mencoba merenung. Melihat diriku, melihat keluargaku, dan melihat semua proses yang tak mudah itu. Sudah berapa banyak uang yang ayah ibu keluarkan untuk membiayai aku hingga detik ini? Sejenak aku mencatat biaya yang sudah ayah ibu keluarkan untuk kuliahku. Dan ternyata, fantastis. Aku tercengang, aku terperanga, ada aku diam tak berkata. Sebanyak itu, kah? MasyaAllah uang sebanyak itu untuk biaya pendidikanku? Belum lagi kalau aku menilik proses yang lainnya. Mata kuliah. Ya mata kuliah, atau ilmu yang aku dapatkan selama ini. Tiba-tiba aku terdiam dan berfikir keras mengais-ngais isi otak untuk menemukan apa yang aku inginkan. Bukan maksud untuk sombong, pamer, atau apalah, aku hanya ingin share tentang siapa aku di masa lalu, dan siapa pula aku saat ini. Betapa senangnya hari-hariku dulu ketika masih duduk di bangku taman kanak-kanak, tanpa beban, tanpa pikiran yang meracau. Setelahnya, ketika aku di bangku sekolah dasar, aku mulai memiliki tanggung jawab. Menanggung amanah untuk menjadi kebanggaan. Akupun bisa mewujudkannya dengan selalu menjadi juara kelas disetiap tahun ajaran baru.  Menjadi siswi teladan yang dikirim untuk beberapa kompetisi. Belum lagi saat kelulusan aku mendapatkan nilai matematika sempurna dan menjadi juara umum. Itu adalah saat-saat paling mengharukan dan saat itulah aku bisa memberikan kebahagiaan dan kebanggaan untuk ayah ibuku. Sangat sederhana.

Perjalanan untuk melalui proses masih terus berjalan. Aku melanjutkan pendidikanku, aku menginjakkan kakiku, dan inilah putih biruku. Aku berhasil menjadi salah seorang siswi yang berprestasi dibidang non akademik yang membawa harum nama sekolah. Benar-benar mengharukan ketika semua mata melihat aku yang kala itu dipanggil kepala sekolah untuk maju dan diberikan penghargaan. Satu tingkat sudah aku selesaikan. Apa sudah selesai proses panjang itu? Belum. Masih ada proses-proses yang lainnya. Disinilah aku mulai terpressure dengan sekelumit aktivitas yang kurasa jauh berbeda dengan masa putih biruku dulu. Selamat datang putih abu-abu. Aku tidak sesmart saat masih duduk di bangku sekolah dasar, atau seeksis ketika di sekolah menengah pertama. Tapi disini, aku diberikan amanah yang tak mudah. Amanah untuk pendidikanku, amanah untuk organisasiku. Puji syukur Alhamdulillah, aku bisa manjalaninya dengan sangat baik dan seimbang. Aku menjadi seorang komandan, dan betapa bahagianya aku juga masih bisa menjadi juara paralels setiap tahunnya. 

Tahap-tahap dasar sudah sempurna aku lewati dengan segudang pengalaman dan cerita. Tapi kuliahku? Lain ceritanya. Huh.... (menghela nafas panjang dan mulai bingung harus menulis dari mana). Sulit dan rumit. Mungkin hanya itu kalimat sederhana untuk ku gambarkan. Kuliah itu lain ceritanya dengan SD, SMP, atau mungkin SMA. Untuk sebuah proses pendidikannya, mata kuliahnya yang terbilang baru untuk orang yang tak terbiasa belajar seperti aku, yang ya walaupun bisa dibilang aku cukup cerdas untuk mengerjakan soal-soal tanpa harus belajar, tapi disini aku mulai melihat, siapa yang lemah dan tak belajar banyak, maka dia akan tertinggal. Tubuhku mulai lemas tak berdaya. Rasanya loyo. Bahkan untuk mendapatkan nilai B saja, rasanya tak mudah. Masalah presetasi dan IPK? Jangan tanyakan. Terlalu sensitif. Bahkan ku pikir tiga tahun aku berada disini dengan biaya bombastis, aku tak mendapatkan apa yang dulu selalu aku dapatkan saat masih sekolah. Belum lagi waktu yang aku miliki, rasanya 24 jam berlalu cepat dan terasa kurang karena banyak kesibukan dimana-mana. Aku bingung, aku kalut. Tapi aku tak bisa terus-terusan seperti ini. Bagaimana dengan masa depanku, bagaimana dengan ratusan juta uang ayah ibuku selama ini? Apa aku tega membakarnya begitu saja dengan terus-terusan seperti ini?

0 komentar:

Posting Komentar

 

Kembang Gula Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea