Maret 26, 2012

cara mereka mendidik aku

Diposting oleh Sabita Normaliya di 16.38
Kini usiaku sudah memasuki angka dua puluh tahun. Sudah selama ini pula aku tinggal bersama dengan mereka. Ayah dan juga ibuku. Bagaimanapun juga, berapapun usiaku nanti, aku adalah tetap anak mereka. 

Aku terlahir dua puluh tahun yang lalu. Tepatnya seperti apa, aku belum pernah menanyakannya langsung pada ibuku. Yang jelas, aku sempat mendengar beberapa cerita dari saudara-saudaraku, bahwa kelahiranku sangatlah dinantikan. Betapa tidak, aku adalah cucu pertama dikeluarga besar kakek-neneku. Maklum, ibuku adalah anak tertua dikeluarga besar ini. Dua puluh tahun berlalu, yang aku ingat hanya sepenggal cerita dikala aku sudah memasuki bangku sekolah. Menurut banyak cerita yang tidak ku tahu kebenarannya, aku ini adalah sosok bocah yang nakal. Bahkan bisa dibilang sangat nakal. Aku bisa saja terbalik dari bak tempat aku mandi, kalau tidak salah, tanteku pernah bilang hal itu terjadi ketika aku masih belum bisa berjalan. Tidak cukup hanya itu, setelah aku memasuki bangku taman kanak-kanak, kejahilan dan kenakalanku semakin menjadi-jadi. Tanteku adalah salah seorang yang sangat phobia dengan binatang melata, khususnya cicak. Karena aku sangat tahu ketakutan tanteku itu, bukan aku menjauhkannya dari hadapan tante, tapi aku malah senang mengganggunya dengan sesekali melemparkan cicak kearahnya. Dan apa kalian tahu, kejahilanku itu tidak jarang membuat tanteku jatuh pingsan.
Bukan hanya itu, Kawan. Aku juga tidak segan-segan merusak apa yang tidak aku suka. Aku masih cukup ingat dengan baik kejadian di bawah meja makan nenekku sekitar lima belas tahun yang lalu. Waktu itu aku dengan sadisnya menggunduli poni sepupuku yang usianya dua tahun lebih muda dari aku. Iya, jelas saja aku melakukannya karena aku tidak suka dengan rambutnya yang tebal dan bagus itu, sementara rambutku tipis dan bergelombang.

Apakah cuma itu kenakalan yang aku ingat? Oh tentu saja tidak. Aku juga pernah terkunci di dalam kamar ayahku, dan parahnya kuncinya juga hilang karena aku yang telah membuangnya. Aku tidak sendiri waktu itu. Semasa kecil dan tinggal di asrama, aku punya teman baik, namanya Rendi. Hampir setiap saat aku dan Rendi selalu bersama. Bagiku Rendi adalah seperti boneka yang bisa diapakan saja tanpa penolakan dan juga perlawanan. Seperti siang itu, kami terkunci di kamar ayahku berdua. Tanpa banyak pikir, aku langsung mendandani Rendi seperti apa mauku. Akhirnya kutumpahkan semua minyak rambut milik ayahku di rambutnya yang jarang itu. Alhasil, dia seperti tikus yang tercebur got. Dan betapa marahnya ayah setelah tahu minyak rambut kesayangannya itu aku habiskan. 

Ayahku adalah seorang tentara. Bagi kebanyakan orang, mereka pasti menilai ayahku adalah orang yang seram dan menakutkan. Tidak terkecuali aku. Setiap ulah nakal yang aku buat, ayah selalu memberikan aku hukuman. Hukuman yang kufikir adalah hukuman yang terkeras yang pernah aku terima. Itulah satu-satunya cara yang dapat menghentikan kenakalanku. Walaupun untuk beberapa saat, tapi kupikir itu memang berhasil. 

Aku memang dilahirkan menjadi bocah yang nakal. Tapi, aku cukup kagum dengan cara ayah dan juga ibu mendidik aku. Ayahku memang seorang figure yang keras, tapi dibalik itu semua kufikir ayah telah mampu membentuk karakterku. Seorang wanita yang kufikir cukup tangguh.

Sampai pada kini aku akhirnya sadar pernah melalui masa-masa kecil itu. Masa-masa yang tiada pernah akan terulang untuk kedua kalinya. Betapa banyak pelajaran yang telah aku dapatkan dari setiap didikan ayah dan juga ibuku.

Memasuki usia remaja, agaknya peran mereka semakin meningkat. Tidak ada lagi kekerasan, tidak ada lagi sentilan keras di telinga, tidak ada lagi pukulan, lemparan benda, ataupun sebagainya. Mereka fikir ketika aku tumbuh menjadi seorang remaja, adalah ketika mereka mampu menempatkan diri mereka seperti sahabat. Ibuku adalah sahabatku. Tempat aku mengadu, mencurahkan masalah, dan berbagi keluh kesah. Walaupun memang terkadang tidak semua masalah bisa aku ceritakan kepada ibu. Tapi tidak lantas demikian dengan ayah. Ayah masih tetap menjaga wibawanya. Dan itu adalah salah satu yang membuat aku kagum dan bangga akan sosok dirinya. 

Terlahir dari didikan seorang militeris, tidak menjadikan aku wanita yang keras seperti halnya ayahku. Ayah dan ibu masih saja dan bahkan kufikir selalu menanamkan apa itu tata krama dan juga sopan santun. Lagi-lagi aku harus mengakui bahwa mereka adalah orang tua yang lebih dari hanya sekedar berhasil dalam mendidik anak-anaknya.

Sayangnya mungkin aku sedikit merasa miris dan bahkan bisa dibilang kurang suka manakala melihat seseorang yang dididik dengan cara yang berbeda. Tepatnya tidak memiliki etika. Maaf ucapanku kurang enak, tapi aku jujur menuliskan ini. Aku tidak suka.

Beberapa kali aku menemui orang-orang yang bagiku kurang sopan dalam berperilaku. Baginya itu hal biasa, tapi bagiku, itu adalah suatu hal yang cukup membuat aku tahu siapa dirimu dan bagaimana orang tuamu menanamkan nilai-nilai itu.

Satu contoh kecil adalah etika tentang sebuah makanan. Bagiku ini adalah hal sepele dan sering terjadi di kehidupanku. Jujur, aku cukup terganggu dengan orang-orang yang tidak memiliki sopan santun dan juga etika terhadap makanan yang aku punya. Aku sama sekali tidak akan marah apabila ia memintanya dengan baik kepadaku. Tapi, maaf saja manakala aku menjadi berubah ketika seseorang mencuil saja bagian dari makananku tanpa izin dari aku. Kukira, sama saja dia telah menjatuhkan nilainya sendiri di mataku. Sesekali memang kubiarkan, tapi pernah waktu itu aku sempat memarahinya. Dengan sikapnya yang dia pikir biasa saja itu, ia mengambil cherry di atas kue kejutan ulang tahun teman sekelasku. Kue itu belum sampai pada temanku yang akan diberikan kejutan, bahkan aku masih membawanya dengan lilin-lilinnya yang menyala. Tiba-tiba ia datang, dan seperti orang yang tidak pernah makan saja, ia megulurkan tangannya ke arahku dan berusaha ngotot ingin mengambil cherry itu. Aku sempat kaget dan ................ entahlah kupikir ia memang tidak pernah belajar apa itu etika. 

Aku memang bukan orang yang serba ada. Dan bahkan ketika aku memang belum pernah makan sesuatupun, aku tidak akan seperti itu. Kufikir senakal-nakalnya aku dimasa kecil, ayah dan juga ibuku telah benar-benar berhasil mendidik aku untuk menjadi orang yang masih punya sopan santun.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Kembang Gula Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea