Tidak terasa kalau sekarang sudah memasuki liburan semester. Kuputuskan
untuk pulang ke kampung halaman, walaupun hanya bisa aku lakukan minimalnya
satu kali dalam satu tahun. Setidaknya itu jauh lebih baik daripada aku tidak
lantas pulang sama sekali. Pasti ibu dan juga adik-adikku sudah menyimpan
rindunya untuk aku selama satu tahun ini.
Di sepanjang perjalanan pulang, di tengah hiruk pikuk kota besar, di
sela-sela terik matahari yang menyengat kulit, pikiranku kembali kacau. Aku
mulai ragu dengan keputusanku untuk melanjutkan kuliah. Rasanya aku hanya menjadi
benalu untuk keluargaku. Biaya kuliah sangat mahal. Belum lagi uang yang harus
ibu kumpulkan untuk biaya hidupku selama tinggal di kota orang. Tapi, kalau
pada akhirnya aku mundur, itu akan sangat mengecewakan ibu. Kubenamkan wajahku
dalam tengkupan telapak tanganku, dengan harapan aku segera menghapuskan semua
pikiran buruk yang menelusup dalam bongkahan otakku.
Kereta api ekonomi Matarmaja melaju dengan cepat. Lelah merajam tubuhku
yang mulai mengantuk. Entah sudah berapa lama aku tertidur dalam buaian si ular
besi, namun samar-samar kulihat di jendela, matahari telah nampak pulang keperaduannya.
Tidak kudapati ini sudah sampai mana, hanya bentangan sawah yang luas terhampar
selama perjalanan.
Masih pukul 18.17, dan cukup jauh untuk tiba di stasiun Jebres, kota
Solo. Tapi, tiba-tiba mataku terperanjat akan sosok ibu-ibu yang usianya paruh
baya itu duduk bersandar tepat di bawah kursi tempat dudukku. Spontan aku berdiri
dan mempersilakan ibu itu untuk duduk dibangkuku.
“Ibu, silakan duduk.” Tuturku ramah sambil mengulurkan tangan untuk
membantunya berdiri.
“Oh tidak usah, Nak. Terimaksih.”
“Tidak papa, Buk. Gantian, saya tadi sudah duduk lama.” Tambahku
menegaskan
“Terimaksi, Nak.” Balasnya ramah.
Hampir tiga puluh menit aku berdiri mematung. Badanku mulai lelah menahan berat badanku
sendiri. Nampaknya laju kereta api mulai dikurangi dan pada akhirnya berhenti
di sebuah stasiun yang aku sendiri bahkan juga tidak tahu ini stasiun apa.
Beberapa orang turun, dan akhirnya aku kembali mendapatkan tempat duduk yang
kebetulan satu bangku dengan si ibu.
“Mau kemana, Nak?”
“Ke Solo, Bu. Ibu sendiri mau kemana?”
“Saya mau ke Jakarta, nyambangi
anak. Pulang kampung ya?”
“Iya, Bu. Mumpung libur
kuliah.”
“Kuliah?” Tanya ibu sumringah.
Tak ku balas dengan kata-kata, namun senyuman malu kulayangkan tepat
pada pandangan ibu paruh baya itu.
“Anak ibu di Jakarta juga sedang libur kuliahnya, tapi dia tidak bisa
pulang kampung karena tidak ada biaya. Tapi, yang namanya ibu pasti
mengupayakan yang terbaik untuk anaknya. Ongkos naik kereta ekonomi saja ibu
sampai harus gadaikan piring dan pinjam-pinjam uang tetangga. Kalau buat anak,
pasti ibu cari-carikan. Ibu kepingin anak-anak ibu jadi sarjana, ya walaupun
ibunya hanya buruh cuci.”
Lagi-lagi aku tidak berkutik dan hanya diam seraya berkata dalam hati,
“Betapa semua orang tua selalu menginginkan anaknya menjadi lebih baik dari
dirinya. Seperti ibuku dan juga ibu ini. Aku tidak boleh mengecewakan ibuku
dengan lantas berhenti kuliah dengan alasan biaya yang sangat mahal. Bukankan
negara ini sudah merdeka? Dan kemerdekaan itu juga untuk orang miskin seperti
kami yang juga punya mimpi seperti kebanyakan orang kaya di luar sana.”
“Kok mukanya sedih, Nak?” Tanya ibu itu kepadaku.
“Tidak papa, Bu. Hanya saja saya menyesal pernah memiliki pemikiran
untuk berhenti kuliah karena biaya kuliah yang mahal.”
“Jangan pernah kamu berfikir singkat seperti itu. Orang tuamu pasti
berusaha yang terbaik untuk kamu, kan? Jangan kecewakan mereka dengan mengambil
keputusan yang salah.”
“Iya, Bu. Saya juga menyesal pernah punya pemikiran picik seperti itu.”
***
Tepat pukul 22.00 WIB kereta ekonomi
yang aku tumpangi telah sampai di stasiun Jebres, Solo. Rasanya lega tiba di
tanah kelahiran.
“Ibu, monggo.” Pamitku pada si ibu sambil tersenyum dan tak lupa mencium
tangannya.
“Iya...”
Pertemuanku dengan seorang ibu yang
luar biasa telah membuka mata hatiku betapa segala sesuatu yang kita mulai,
harus kita akhiri dengan keberhasilan, karena aku juga tidak ingin ibu serta
almarhum bapak kecewa terhadap aku.
Malam hari di kota Solo kian dingin,
rasanya menusuk sampai sumsum tulangku. Aku yang hanya memakai kaos lengan
panjang dan celana kulot harus tetap
melanjutkan perjalanan agar cepat sampai di rumah. Badan ini rasanya sangat
letih, maksud hati ingin berjalan kaki sampai rumah, tapi kuurungkan niatan itu
dengan lantas naik becak.
Perjalanan dari stasiun ke rumah
kurang lebih tiga kilometer. Setelah kurang lebih lima belas menit berlalu,
akhirnya aku telah sampai di depan rumah. Kulihat jam mungilku sudah
menunjukkan pukul 22.35, namun, kulihat dari kejauhan lampu ruang tamu masih
menyala. Perlahan ku ketuk pintu. Sosok kecil mungil yang aku kenal tiba-tiba
membukanya.
Sontak adikku yang paling kecil
menangis sambil mendekap tubuhku, “Mbak Ratih, Asri kangen.”
“Iya, Nduk. Mbak juga kangen. Loh
kok pada belum tidur iki piye to?”
“Lagi nunggu Mbak Ratih.”
“Ini, mbak sudah sampai, ayo tidur! Sesuk
kan sekolah.”
“Aku bubuk karo Mbak Ratih
ya!” Pinta Asri sambil terus memegangi tanganku.
“Iya.”
***
Hari ini hari Rabu. Seperti
kebiasaanku sebelumnya, aku selalu bangun pagi. Mempersiapkan sarapan untuk
kedua adik perempuanku Asri dan juga Nunuk. Mereka adalah alasan yang membuat
aku pulang kampung ditengah uang bulanan yang kian menipis. Tapi, hati kecilku
lebih memilih untuk merasakan kebahagiaan sempurna seperti ini.
“Ibu apa kabar?”
“Apik-apik
wae, Mbak. Mbak Ratih kuliahe lancar
to?”
“Njih,
Bu.”
“Kapan mbayar duit semesteran?”
“Masih lama kok, Bu. Ibu tidak usah mikir uang semesteran Ratih. Ratih
sudah punya sedikit uang tabungan buat bayar kuliah.”
“Duit tekan ngendi toh,
Mbak?”
“Ratih nyambi kerja, Buk.
Gajinya lumayan, bisa buat tambahan bayar kost-kostan dan sedikit disisihkan
buat bayar kuliah.” Jawabku meyakinkan ibu.
“Alhamdulillah kalau begitu. Kalau misal Mbak Ratih lagi butuh uang, gak usah sungkan matur Ibu luh ya?”
“Njih, Bu.”
“Buat kuliah dan sekolah adik-adik, Mbak Ratih jangan bingung. Ibu
masih punya simpanan uang. Jangan sampai dengan alasan tidak punya uang terus
sekolahnya amburadul. Ibu pingin
anak-anak ibu jadi orang sukses semua.”
Mendengar ucapan ibu dengan semangatnya yang luar biasa untuk tetap
menyekolahkan ketiga anaknya, walau seorang diri mencari nafkah, membuat aku
semakin mantap untuk melanjutkan langkahku. Betapa mimpi-mimpi yang selama ini
aku rajut, harus aku kejar dan aku gapai. Bukankah mimpi-mimpi itu gratis dan
bukan hanya milik mereka yang kaya, kan? Kemerdekaan itu juga milik orang miskin
seperti kami. Aku, ibu, dan kedua adik perempuanku.
tulisan diikutkan dalam Lomba Cerpen Ramadhan JMII ITS
0 komentar:
Posting Komentar