November 03, 2012

Bukan hanya Milik Mereka yang Kaya

Diposting oleh Sabita Normaliya di 10.41
 Tidak terasa kalau sekarang sudah memasuki liburan semester. Kuputuskan untuk pulang ke kampung halaman, walaupun hanya bisa aku lakukan minimalnya satu kali dalam satu tahun. Setidaknya itu jauh lebih baik daripada aku tidak lantas pulang sama sekali. Pasti ibu dan juga adik-adikku sudah menyimpan rindunya untuk aku selama satu tahun ini.
Di sepanjang perjalanan pulang, di tengah hiruk pikuk kota besar, di sela-sela terik matahari yang menyengat kulit, pikiranku kembali kacau. Aku mulai ragu dengan keputusanku untuk melanjutkan kuliah. Rasanya aku hanya menjadi benalu untuk keluargaku. Biaya kuliah sangat mahal. Belum lagi uang yang harus ibu kumpulkan untuk biaya hidupku selama tinggal di kota orang. Tapi, kalau pada akhirnya aku mundur, itu akan sangat mengecewakan ibu. Kubenamkan wajahku dalam tengkupan telapak tanganku, dengan harapan aku segera menghapuskan semua pikiran buruk yang menelusup dalam bongkahan otakku.

Kereta api ekonomi Matarmaja melaju dengan cepat. Lelah merajam tubuhku yang mulai mengantuk. Entah sudah berapa lama aku tertidur dalam buaian si ular besi, namun samar-samar kulihat di jendela, matahari telah nampak pulang keperaduannya. Tidak kudapati ini sudah sampai mana, hanya bentangan sawah yang luas terhampar selama perjalanan.
Masih pukul 18.17, dan cukup jauh untuk tiba di stasiun Jebres, kota Solo. Tapi, tiba-tiba mataku terperanjat akan sosok ibu-ibu yang usianya paruh baya itu duduk bersandar tepat di bawah kursi tempat dudukku. Spontan aku berdiri dan mempersilakan ibu itu untuk duduk dibangkuku.
“Ibu, silakan duduk.” Tuturku ramah sambil mengulurkan tangan untuk membantunya berdiri.
“Oh tidak usah, Nak. Terimaksih.”
“Tidak papa, Buk. Gantian, saya tadi sudah duduk lama.” Tambahku menegaskan
“Terimaksi, Nak.” Balasnya ramah.
Hampir tiga puluh menit aku berdiri mematung.  Badanku mulai lelah menahan berat badanku sendiri. Nampaknya laju kereta api mulai dikurangi dan pada akhirnya berhenti di sebuah stasiun yang aku sendiri bahkan juga tidak tahu ini stasiun apa. Beberapa orang turun, dan akhirnya aku kembali mendapatkan tempat duduk yang kebetulan satu bangku dengan si ibu.
“Mau kemana, Nak?”
“Ke Solo, Bu. Ibu sendiri mau kemana?”
“Saya mau ke Jakarta, nyambangi anak. Pulang kampung ya?”
“Iya, Bu. Mumpung libur kuliah.”
“Kuliah?” Tanya ibu sumringah.
Tak ku balas dengan kata-kata, namun senyuman malu kulayangkan tepat pada pandangan ibu paruh baya itu.
“Anak ibu di Jakarta juga sedang libur kuliahnya, tapi dia tidak bisa pulang kampung karena tidak ada biaya. Tapi, yang namanya ibu pasti mengupayakan yang terbaik untuk anaknya. Ongkos naik kereta ekonomi saja ibu sampai harus gadaikan piring dan pinjam-pinjam uang tetangga. Kalau buat anak, pasti ibu cari-carikan. Ibu kepingin anak-anak ibu jadi sarjana, ya walaupun ibunya hanya buruh cuci.”
Lagi-lagi aku tidak berkutik dan hanya diam seraya berkata dalam hati, “Betapa semua orang tua selalu menginginkan anaknya menjadi lebih baik dari dirinya. Seperti ibuku dan juga ibu ini. Aku tidak boleh mengecewakan ibuku dengan lantas berhenti kuliah dengan alasan biaya yang sangat mahal. Bukankan negara ini sudah merdeka? Dan kemerdekaan itu juga untuk orang miskin seperti kami yang juga punya mimpi seperti kebanyakan orang kaya di luar sana.”
“Kok mukanya sedih, Nak?” Tanya ibu itu kepadaku.
“Tidak papa, Bu. Hanya saja saya menyesal pernah memiliki pemikiran untuk berhenti kuliah karena biaya kuliah yang mahal.”
“Jangan pernah kamu berfikir singkat seperti itu. Orang tuamu pasti berusaha yang terbaik untuk kamu, kan? Jangan kecewakan mereka dengan mengambil keputusan yang salah.”
“Iya, Bu. Saya juga menyesal pernah punya pemikiran picik seperti itu.”
***
            Tepat pukul 22.00 WIB kereta ekonomi yang aku tumpangi telah sampai di stasiun Jebres, Solo. Rasanya lega tiba di tanah kelahiran.
            “Ibu, monggo.” Pamitku pada si ibu sambil tersenyum dan tak lupa mencium tangannya.
            “Iya...”
            Pertemuanku dengan seorang ibu yang luar biasa telah membuka mata hatiku betapa segala sesuatu yang kita mulai, harus kita akhiri dengan keberhasilan, karena aku juga tidak ingin ibu serta almarhum bapak kecewa terhadap aku.
            Malam hari di kota Solo kian dingin, rasanya menusuk sampai sumsum tulangku. Aku yang hanya memakai kaos lengan panjang dan celana kulot harus tetap melanjutkan perjalanan agar cepat sampai di rumah. Badan ini rasanya sangat letih, maksud hati ingin berjalan kaki sampai rumah, tapi kuurungkan niatan itu dengan lantas naik becak.
            Perjalanan dari stasiun ke rumah kurang lebih tiga kilometer. Setelah kurang lebih lima belas menit berlalu, akhirnya aku telah sampai di depan rumah. Kulihat jam mungilku sudah menunjukkan pukul 22.35, namun, kulihat dari kejauhan lampu ruang tamu masih menyala. Perlahan ku ketuk pintu. Sosok kecil mungil yang aku kenal tiba-tiba membukanya.
            Sontak adikku yang paling kecil menangis sambil mendekap tubuhku, “Mbak Ratih, Asri kangen.”
            “Iya, Nduk. Mbak juga kangen. Loh kok pada belum tidur iki piye to?”
“Lagi nunggu Mbak Ratih.”
“Ini, mbak sudah sampai, ayo tidur! Sesuk kan sekolah.”
“Aku bubuk karo Mbak Ratih ya!” Pinta Asri sambil terus memegangi tanganku.
“Iya.”
***
            Hari ini hari Rabu. Seperti kebiasaanku sebelumnya, aku selalu bangun pagi. Mempersiapkan sarapan untuk kedua adik perempuanku Asri dan juga Nunuk. Mereka adalah alasan yang membuat aku pulang kampung ditengah uang bulanan yang kian menipis. Tapi, hati kecilku lebih memilih untuk merasakan kebahagiaan sempurna seperti ini.
            “Ibu apa kabar?”
            Apik-apik wae, Mbak. Mbak Ratih kuliahe lancar to?”
            Njih, Bu.
            “Kapan mbayar duit semesteran?”
“Masih lama kok, Bu. Ibu tidak usah mikir uang semesteran Ratih. Ratih sudah punya sedikit uang tabungan buat bayar kuliah.”
Duit tekan ngendi toh, Mbak?”
“Ratih nyambi kerja, Buk. Gajinya lumayan, bisa buat tambahan bayar kost-kostan dan sedikit disisihkan buat bayar kuliah.” Jawabku meyakinkan ibu.
“Alhamdulillah kalau begitu. Kalau misal Mbak Ratih lagi butuh uang, gak usah sungkan matur Ibu luh ya?”
Njih, Bu.”
“Buat kuliah dan sekolah adik-adik, Mbak Ratih jangan bingung. Ibu masih punya simpanan uang. Jangan sampai dengan alasan tidak punya uang terus sekolahnya amburadul. Ibu pingin anak-anak ibu jadi orang sukses semua.”
Mendengar ucapan ibu dengan semangatnya yang luar biasa untuk tetap menyekolahkan ketiga anaknya, walau seorang diri mencari nafkah, membuat aku semakin mantap untuk melanjutkan langkahku. Betapa mimpi-mimpi yang selama ini aku rajut, harus aku kejar dan aku gapai. Bukankah mimpi-mimpi itu gratis dan bukan hanya milik mereka yang kaya, kan? Kemerdekaan itu juga milik orang miskin seperti kami. Aku, ibu, dan kedua adik perempuanku. 
 
tulisan diikutkan dalam Lomba Cerpen Ramadhan JMII ITS
http://www.masjid.its.ac.id/


0 komentar:

Posting Komentar

 

Kembang Gula Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea